Minggu, 19 Oktober 2014

Mom and Her Kid


Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku membenci sosoknya, karena bagiku itu adalah sebuah hal yang memalukan. Ibuku menjalankan sebuah toko kecil di sebuah pasar. Dia mengumpulkan barang-barang bekas dan sejenisnya untuk dijual dan untuk mendapatkan uang demi kebutuhan kami sehari-hari. Dan lagi-lagi bagiku itu adalah suatu hal yang memalukan. 

Pada suatu hari di sekolah. Aku ingat saat itu hari ketika ibuku datang. Semua orang melihatku, dan meyakinkan diri mereka bahwa orang bermata satu itu adalah Ibuku. Aku sangat malu. Mengapa ia melakukan hal ini kepadaku? Aku membuang muka ketika ia tersenyum melihatku, dan rasa benci padanya pun tiba-tiba memuncak. Aku berlari meninggalkannya. 
Keesokan harinya di sekolah, hampir semua anak mengatakan hal yang sama. “Ibumu hanya memiliki satu mata?” dan mereka semua mengejekku. Aku malu, aku benci, dan aku muak. Aku berharap ibuku hilang dari dunia ini. Maka, sepulangnya aku dari sekolah, aku berkata kepada ibu ,”Ibu, kenapa kamu hanya punya satu mata? Apakah Ibu tau? Ibu hanya akan menjadi bahan tertawaan dengan matamu itu. Kenapa Ibu tidak mati saja?” Ucapku murka. 
Ibu tidak menjawab. Aku merasa sedikit buruk ketika aku mengatakan itu, tetapi pada waktu yang sama, rasanya ada kelegaan karena aku telah mengatakan apa yang ingin aku katakan selama ini. Dan mungkin karena ibuku tak memberikan reaksi apapun ketika aku mengatakan sesuatu yang benar-benar menyakitkan seperti itu, aku jadi tidak berfikir bahwa kata-kata itu amat sangat melukainya. Malamnya, Aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Dan aku melihat sosok Ibuku di sudut dapur. Bahunya berguncang membuatku sadar Ibuku sedang menangis disana, suara isak tangisnya amat sangat pelan, seakan ia takut bahwa tangisannya akan membangunkanku. Aku melihatnya sekilas dan pergi. Mengingat perkataanku sebelumnya kepadanya, aku merasa ada sesuatu yang mencubit hatiku. Perih. Meskipun begitu, Aku membenci ibuku yang menangis dari satu matanya. Jadi,aku menepis rasa bersalahku. 
Aku mengatakan kepada diriku sendiri bahwa di masa depan nanti aku akan tumbuh dewasa dan menjadi sukses, karena aku muak dengan ibuku yang bermata-satu dan kemiskinan kami. Lalu aku pun  belajar dengan keras. Dan setelah masa SMA ku, dengan Besarnya keyakinan diri akan kemampuanku, Aku memutuskan untuk ikut Ujian Masuk Universitas di Seoul.  Dan Aku pun diterima disana. Aku pun meninggalkan Ibuku yang bermata satu itu dengan pamit sekedarnya, dan pergi tanpa meninggalkan pelukan ataupun ciuman untuknya.
Beberapa tahun berlalu. Aku menikah dengan seorang wanita di Seoul. Dan mendapatkan dua orang anak. Hidup kami amat sangat bahagia. Kami tinggal di salah satu rumah yang bisa dibilang cukup mewah, karena aku pun telah menjadi seorang pebisnis yang sukses. Aku bahagia tinggal disini, karena disini aku bisa menjadi diriku yang baru. Tempat yang tidak akan mengingatkanku akan Ibuku yang bermata satu. Hingga suatu hari, ketika seseorang yang tak terduga berdiri di depan pintu rumahku. Seseorang yang membuat putri tercintaku yang saat itu membukakan pintu untuknya, berlari kabur karena takut akan sosoknya yang bermata satu. Rasanya seperti cemeti yang telah menghancurkan kebahagiaanku. Yaa.. Dia adalah Ibuku.
Ibuku yang masih dengan mata satunya, namun kini dalam sosok yang lebih tua, lebih terlihat compang-camping, lebih terlihat rapuh dengan tongkat yang menyangga tubuhnya. Sekilas, Aku melihatnya tersenyum bahagia ketika melihatku. Namun senyum itu langsung surut ketika tanpa sadar aku berteriak "Siapa Anda??!" Saya Tidak Mengenal Anda. Berani-beraninya Anda Datang ke Rumah Saya dan Menakut-nakuti  Anak Saya!! PERGI DARI SINI SEKARANG JUGA!! bentakku".
Dan ibu dengan pelan menjawab, “Oh, maafkan aku. aku pasti salah alamat,” dan dia pun berbalik pergi, dengan langkahnya yang pelan memilukan.
Aku berfikir Ia tidak mengenaliku, dan aku merasa cukup lega karena itu. Aku mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan peduli, atau memikirkannya sepanjang sisa hidupku. Lalu ada perasaan lega datang kepadaku.
Suatu hari, sebuah surat tentang reuni sekolah datang ke rumahku. Aku membohongi istriku dengan mengatakan bahwa aku akan pergi untuk urusan bisnis, walau kenyataannya aku pergi kembali ke rumah lamaku. Aku hanya ingin menunjukkan ke orang-orang, bagaimana sosok diriku sekarang.
Setelah reuni, aku pergi ke rumah lamaku.. karena rasa penasaran saja sebetulnya. Rumahku dulu masih tetap sama, namun entah kenapa sekarang jauh terlihat kumuh dan bobrok. Mungkin karena termakan usia waktu. Namun aku merasakan suatu hal yang lain, yang mendorongku untuk masuk ke dalam rumah itu. Dan betapa terkejutnya aku saat aku menemukan sosok ibuku yang terbaring di lantai tanah rumah kami yang dingin. Kaku tak bergerak. Aku berlutut merengkuh sosoknya, membalik tubuhnya hingga wajahnya dapat kulihat dan memanggil namanya, namun tak ada jawaban yang kudapat. Kulihat bekas tangis di matanya yang tak buta. Namun wajahnya kini seperti orang yang tertidur dengan tenang. Wajahnya begitu damai. Kurasakan tubuhnya telah mendingin, dan kusadari pula, raganya yang kini ku rengkuh ini tak lagi tanpa jiwa. Tetapi aku tidak meneteskan satu air mata sekalipun melihatnya. Tatapanku kini tertuju pada tanganya yang tergenggam erat. Ia memegangi sepotong kertas di tangannya. Aku mengambil potongan kertas itu dan aku sadari itu adalah surat untuk diriku. 
Anakku, Aku pikir hidupku sudah cukup lama hingga saat ini.  Dan.. aku tidak yakin aku mampu hidup lebih lama lagi. Maafkan aku yang saat itu mengganggu kehidupanmu di Seoul. Egoku yang menuntutku untuk menemuimu yang bertahun-tahun meninggalkanku tanpa suatu kabar apapun. Egoku yang membuatku lupa bahwa kau sangat membenci kehadiranku di depan orang-orang yang kau kenal. Waktu itu aku hanya ikut seorang Wirausahawan muda yang berbaik hati ingin mempertemukan aku denganmu yang adalah rekan kerjanya di Seol. Maafkan aku nak, Dan aku  berjanji tidak akan mengunjungimu dan merusak kebahagiaanmu lagi. Tetapi apakah hasratku terlau banyak jikalau aku menginginkamu untuk datang menunjungiku sekali-kali nak? aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat lega ketika mendengar kamu akan datang dalam reuni ini. Tetapi aku memutuskan untuk tidak datang ke sekolah. Meski aku sangat amat ingin melihat wajahmu lagi. Pertemuan singkat kita di Seoul masih belum cukup mengobati rasa rindu yang teramat sangat di diriku ini. Untukmu.. aku meminta maaf jikalau aku hanya memiliki satu mata dan aku hanya membawa aib bagi dirimu. Kamu tahu, ketika kamu masih sangat kecil, kamu terkena sebuah kecelakaan, dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tidak tahan melihatmu harus tumbuh dengan hanya satu mata. Aku tidak tahan melihatmu yang justru mendapat hinaan. Maka aku memberikan satu mataku padamu. Suatu kebanggan bagiku karena anakku kini bisa melihat dunianya yang baru, yang tanpa cacat, menggantikan aku dengan mata itu. Aku tidak pernah marah kepadamu atas apapun yang kamu lakukan padaku, nak. Beberapa kali ketika kamu marah kepada ku. aku berpikir sendiri,” Mungkin Ini karena kamu mencintai aku.” 
Aku rindu masa-masa ketika kamu masih sangat kecil dan selalu tidur dalam pelukanku. Ketika kamu bermanja-manja padaku. Ketika kamu dengan berada dalam rengkuhan tanganku. Aku rindu ketika kau memanggilku "Ibu..". Aku rindu ketika kau bertingkah lucu yang membuat ku tertawa. Aku sangat merindukanmu. Aku mencintaimu. Kamu adalah duniaku. Bayangkan betapa tak berdayanya aku ketika "Duniaku"pergi. Maafkan aku yang tak bisa sempurna untukmu nak..Maafkan aku.. Semoga saja aku bisa memelukmu sekali lagi, seperti dulu..
Air mata ku mengalir sepanjang aku membaca surat itu. Dalam beberapa detik saja aku sudah hancur. Ku peluk erat raga yang saat ini ada dalam rengkuhan tanganku. Aku berteriak menahan kesakitan ini. Dadaku sesak sehingga aku sulit bernafas. Berpuluh tahun aku hidup dengan anggapan Ibuku adalah aib yang membuatku malu. Berpuluh tahun aku hidup dengan kedurhakaan yang gila. Oh Tuhan.. inikah sosok yang sangat aku benci selama berpuluh-puluh tahun ini? Penyesalan yang teramat sangat mencambukku dengan tiada ampun. Sekelebat ingatan ketika aku membentak dirinya, ketika aku jijik melihat wajahnya, ketika aku berpura-pura menjadi orang asing baginya, dan ketika aku dengan tega mengusirnya dari rumahku. Sakit. Ini semua teramat sakit. Oh ibu.. andai kau memberitahuku dulu, andai kau menceritakan segalanya padaku, andai engkau memarahiku ketika aku salah, andai engkau menghukumku lebih dulu, aku tidak akan merasa semenderita ini.
Nasi telah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Dan inilah hukuman untuk anak durhaka seperti aku. Penyesalan Seumur Hidup. Hukuman yang tanpa akhir. Hukuman tanpa bisa dihapus. Hukuman yang bahkan membunuh sebagian akal sehatku.

(cr: kisah-kisah inspiratif)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar