Jumat, 20 Juni 2014

Kakek si Penjual Ikan

Seperti biasa pasar ikan di jalan gegedek sekitar jam 8 pagi masih padat akan pembeli dan penjual. Para penjual ikan masih dengan semangat berteriak menawarkan ikan-ikan segar dengan harga bersaing kepada pembeli. Tak hanya ikan, tapi juga cumi-cumi, kerang, udang, dan lainnya mereka jual. Aku sudah terbiasa berbelanja tiap minggu di pasar ikan ini. Pasar ikan di jalan gegedek merupakan pasar ikan terbesar di belitung, dikarenakan posisinya yang dekat dengan pelabuhan tanjungpandan. Jadi para nelayan yang mendapatkan hasilnya langsung menjualnya disini. Lebih menguntungkan beli disini karena selain ikannya masih sangat segar, harga yang kita dapatkan juga termasuk lebih murah dibanding pasar-pasar tradisional lain.

Aku masih berdiri memilih ikan, berhadapan dengan si penjual yang dengan semangatnya masih berteriak mempromosikan ikan-ikannya itu. Namun tiba-tiba teriakan promosi si penjual terhenti, berganti suara “wuuuuu” keras. Aku berbalik ke belakang mengikuti pandangan si Penjual ikan itu.
Dan kudapati sekitar 15 langkah dariku, ada seorang kakek tua baru memasuki pasar ikan, menarik troli yang berisikan 1buah ember seukuran 20L. Tak pernah kulihat kakek ini sebelumnya, walaupun aku sangat sering kesini. Tidak hanya aku pembeli-pembeli lain pun akhirnya menoleh untuk mencari tau sosok yang telah menarik perhatian para penjual, tepatnya hampir sebagian penjual ikan disini. Yang disoraki bukannya marah, tapi malah tersenyum. Dia melewatiku dan tersenyum ramah. Kulihat dengan susah payah dia menarik trolinya yang juga berisi ikan-ikan. Pandangannya menyusur kesetiap sudut sisi pasar ikan, bukan untuk memperhatikan penjual-penjual yang meneriakinya, melainkan mencari tempat kosong untuk tempat ia berjual. Namun sayang tak ada lagi tempat kosong. Dengan tetap tersenyum dia membungkukkan badannya sedikit,seakan pamit sambil berlalu menyeret trolinya keluar.
Pandanganku tak berhenti melihat kakek itu, sampai akhirnya penjual ikan di hadapanku berkata “jadi meli ke?”(maksudnya jadi beli gak), dengan wajah betenya. Bukannya menjawab aku malah balik bertanya, “Ngape kakek tadi disurakek?” (Kenapa kakek tadi disorakin?).
Si penjual menjawab “Dak malu se, nak numpang jualan disinek. Disinek kan lah ade orang e semue, dak usa ngerebut rejeki urang lah. Makek tampang gtu pulak”. (Dia gak punya malu si, masa mau numpang jualan disini. Tempat ini kan udah ada yang punya semua, gak usa ngerebut rezeki orang donk). Aku melihat tampang si penjual sangat kesal ketika menjawab pertanyaan itu. Dalam hati aku berkata, begitu sempitnya pikiran orang-orang ini. Tapi aku tak berniat untuk menyanggah kata-kata si Penjual lebih jauh. Aku tak ingin terjadi perdebatan lebih panjang.
Jadi aku memilih diam dan berlalu dari tempat itu dengan mengucapkan maaf sebelumnya, karena aku tidak jadi membeli.
Aku berjalan menyusuri jalan yang sama dengan si kakek tadi. Berharap bisa melihatnya dan membeli sedikit ikannya. Namun tak kutemui sosok si Kakek. Aku beralih berjalan menuju pasar sayur yang tak seberapa jauh dari pasar ikan. Setelah membeli sayur dan beberapa bumbu rumah, aku pun berniat pulang. Ku langkahkan kaki ku menuju tempat parkir. Dan Kulihat tak jauh dari tempat parkir, kakek yang menarik troli tadi duduk disitu bersebelahan dengan seorang penjual jamur. Senyumnya merekah dan dengan semangat menawarkan ikan-ikannya kepada pembeli-pembeli yang berjalan melewatinya. Dia tak berteriak seperti para penjual di pasar ikan. Meski kebanyakan orang-orang yang lewat itu pura-pura tak tau. Namun kulihat si kakek masih tetap tersenyum ramah dan tetap berusaha menawarkan dagangannya. ember berisi ikan di letakkan di sampingnya. Aku mendekat, dan kakek itu berbicara lirih . “ikan, nak.. agik segar”(--ikan nak, masih segar).
Aku tersenyum dan berjongkok di depan si kakek, melihat kedalam ember yang ada disampingnya sambil bertanya “ikan ape kek??
Berape sekilo. Si kakek terlihat sangat senang. Tersenyum lebar melihatkan gigi-giginya yang tinggal 2 biji dibawah, sedangkan diatasnya ksong. “Anak kerisi nak.. 10ribu sekilo”ucapnya lirih dengan ramahnya. Aku beli 3kilo kek ucapku. Kakek itu tersenyum senang dan segera mengambil plastik dari trolinya dan mengambil ikan dari ember yang ia bawa memasukannya dengan kira-kira tanpa menimbangnya. Aku melihatnya bukan karena merasa rugi ikan yang aku beli tidak ditimbang, tapi ikan itu kebanyakan untuk ukuran 3kg. “Maaf kek, kayaknye kebanyakan. Ngpe dak ditimbang dulu? Ucapku. Si Kakek malah tersenyum dan berkata “Lebih dak jadi masalah nak, asal jangan kurang. Susah tanggungjawab kan allah nye klo aku kurang nimbang e, kan kao e rugi.”(-- Lebih gak jadi masalah, asal jangan sampai kurang. Karena tanggungjawabnya ke allah lebih besar jika aku menimbangnya kurang, dan membuat kamu rugi).
 “Tapi kek, mun gini kakek yang rugi.”balasku.
Namun si kakek masih tersenyum ramah dan berkata “Rugi sebesar apapun dak akan nentuek aku dak bisa makan nak, Allah yang nentuek aku dapat makan ape ndak. Dan Untung sebesar apapun dak akan ngenjamin aku Senang makan. Aku jualan itu bentuk usaha aku, rejeki nye tetap dari Allah. Dak peduli untung atau rugi klo allah ngemberi rejeki aku hari ini segini, yah segini.”Ucapnya. Bapak-bapak separuh baya penjual jamur disebelahnya ikut tersenyum dan menepuk bahu kakek itu dengan lembut dan berkata “Benar itu pak, Zaman sekarang urang lum ape-ape jak lah takut rugi, lah takut bangkrut.
Takut dak bisa makan, sampe-sampe kata hati untuk peduli kan nok lain dak agik diingat.Ditutup. Yang ade di utak cuman gimane care e nyari duit banyak-banyak, ukan ngemberi banyak-banyak. Keduanya tertawa, dan Aku tersenyum. "Kakek baru jualan disinek ye?" (--kakek baru jualan disini?) tanyaku lagi. Sikakek terdiam sesaat, dan dengan senyum lagi berkata "dulu aku jualan keliling rumah makek sepida, tapi cucuk aku yang ngelanjutek jualan. Die bela-belaek berenti sekula biar dapat gantiek aku jualan."ucapnya bangga. Die dulu e jualan di situ,"sambil menunjuk ke arah pasar ikan.
"ohh.. pantas dak sua liat kakek, trus cucuknye kemane kek?" tanyaku lagi
Untuk kedua kalinya kakek itu terdiam sesaat dan kembali berkata "die lah pegi". "Sakit". Ucapnya lirih dan matanya berkaca-kaca tapi ia tetap melemparkan senyumnya padaku.
Aku tak lagi melanjutkan pertanyaanku. Aku tak ingin lagi melihat kakek ini sedih karena pertanyaanku yang menyinggung. Aku tahu gak ada hidup yang mudah. Semua orang lahir dengan hidupnya masing-masing. 
Aku kemudian memberi uang 30rbu kepada si Kakek, mengucapkan terimakasih banyak bukan hanya untuk ikan yang telah dilebihkannya dari yang seharusnya kubeli tapi juga untuk pembelajarannya hari ini. Aku pamit pergi diringi ucapan terimakasih dari si Kakek yang aku sanggah. "Aku yang makase kek lah diberik ikan sebanyak ini" ucapku tersenyum dan berlalu.
Memang benar adanya, kenyataan bahwa makin hari makin sedikit yang peduli terhadap sesama. Masing-masing ingin menang, masing-masing ingin kaya, masing-masing ingin berhasil. Masing-masing mempertahankan ego, hingga mata hati yang peduli terhadap orang lain, rasa kasihan terhadap orang lain, tertutup. Semoga Allah tidak menutup mata hati kita hingga kita lebih menghargai dan menghormati orang lain. Ini adalah sedikit kisah diantara beribu kisah ketidakpedulian orang-orang terhadap sesama, semoga kita bukan salah satunya.

2 komentar :

  1. baca ini aja udah bikin merinding, apalagi kalo ndengerin langsung dari kakek itu.
    semoga kita jadi semakin "membuka mata"
    keep sharing :)

    BalasHapus