Senin, 01 September 2014

For The Night Without The End


Aku mendengar suara. Suara music yang sangat merdu. Itu Suara Musik Walzt. Suara anak laki-laki yang tertawa riang, dan suaraku yang ikut tertawa bersamanya. Tapi aku hanya mendengar tanpa melihat. Semuanya gelap. Kegelapan pekat. Gemerisik bunyi hujan yang jatuh kebumi terdengar memecah tawaku dan anak-anak itu, dan tetes-tetes hujan mulai terlihat samar di kegelapan. Aku berteriak diantara riak hujan. “……………..”, “…………..aann!!”
Sosok lelaki kecil berlari didepanku,wajahnya tak begitu jelas terlihat diantara kegelapan, dan aku kembali berteriak “Jangaaannnnnn!!!!!!”. Semua kembali gelap. Berganti dengan payung kec il berpolkadot merah yang terbang, berganti dengan setumpuk bunga asoka merah yang basah karena hujan, dan berganti pula menjadi kegelapan. Tiba-tiba aku melihat setitik cahaya kecil, yang kemudian membesar,membesar dan…

*** 
Cahaya matahari yang masuk ke kamarku membangunkanku yang ngos-ngosan dan berkeringat dingin. Mimpi itu lagi pikirku. Sudah 1bulan ini aku memimpikan seseorang yang sama terus menerus dan berulang-ulang. Mimpi yang seolah-olah adalah kejadian nyata yang pernah kualami sebelumnya. Tapi kapan itu terjadi? Siapa anak lelaki itu? Dan mengapa aku berteriak? Aku yakin aku dan anak itu sering mendengarkan lagu waltz bersama-sama. Ya.. bersama-sama. Keyakinan yang bahkan aku sendiri tidak tahu kapan terjadinya dan tidak mengenal siapa dia.
*** 
Hari ini, aku mendapatkan pernyataan cinta yang gak bisa dibilang romantis. Ketika eskul basket hampir selesai, tiba-tiba saja dia bilang “Rhei,kamu mau pacaran denganku”,di depan seluruh anak-anak yang ikut ekstrakulikuler basket. Sontak anak-anak ekskul jadi heboh sendiri. Siswa yang cowok dengan gampangnya bilang “Rhei..jawab iya,ya.., Regi katanya jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu”.”yee.. pasangan baru sudah lahir..”. Sedangkan yang cewek-cewek sambil nyengar-nyengir bilang “udah Rhei.. gak usa kelamaan mikir, Regi kan tinggi, keren lagi..pas banget pokoknya kalo jadi pasangan kamu”. “Ya ampunn..kalian ini..! Emm emang sih, Regi kakak kelas dan bintang klub basket.”,ucapku pelan lalu mengingat-ingat pertama kalinya aku bertemu dia.
*** 
Ketika itu waktu musim hujan, tahun ajaran baru.
“Hei.. anak baru, kamu anak kelas satu kan?” ucapnya tiba-tiba
“eh.. iyaa..”ucap ku takut-takut. Maklumlah yang ku tahu kakak kelas itu suka mengintimidasi murid-murid kelas satu, itu kesan pertama yang kudapat setelah MOS sekloah,dan kukira dia salah satunya.
“Tahu donk, klo anak kelas satu wajib ikut satu ekskul?? Tanyanya lagi sambil nyengir.
“ehhh.. iya”jawabku lagi
“Mau masuk klub basket,ngak??”
“ehhh.. ngg.. nggakk..”
“Kenapa?? Postur tubuh kamu cukup loh buat anggota basket, mau yaa..!! Harus mau pokoknya.” “Aa..akuu.. aa..akuu gak begitu mahir olahraga”.
“Ohh.. gak apa-apa. Ntar aku yang ajarin sampe kamu bisa, kamu mau yaa..”
“aa..akuuu..”
“Sabtu depan perkenalan anggota baru, jam 3 sore.. aku tunggu.. datang yaa..!! Eum.. nama??”
“Rr..Rheina. Rheina Alexandra”.
“Oke..Rheina.. Aku Regi. Sampai ketemu sabtu nanti, bye..”
*** 
“Tapiii.. Tapi dia seenaknya sendiri dan agak serampangan”, ucapku lalu ketika kembali mengingat pertemuan pertama dengan Regi. “Rasanya.. orang yang aku sukai…bukk..”
“Lho?? Bukannya Rheina belum punya orang yang disukai?? Celetukku temanku Mita.
“I…iya sih, tapi..”ucapku lirih.
*** 
Tapi orang yang aku sukai itu adalah orang yang sangat menyukai kota-kota tua dan waltz. Orang seperti itulah yang aku sukai. Entah sejak kapan aku begitu mendambakan Kota Wina, Ibukota Waltz yang bahkan belum pernah aku lihat.
“Anak-anak Wina menari di gedung-gedung kesenian. Menikmati waktu demi waktu dengan iringan music yang mengalun merdu. Meski entah kapan bisa pergi bersama tapi suatu saat kita kesana, yah Rhei…” ucap seseorang dalam mimpiku yang entah siapa. Seseorang yang selalu menceritakan tentang Wina padaku ketika kecil. Menceritakan para seniman cantik yang memakai mahkota dan gaun putih yang akan menari waltz berputar, diiringi music Waltz Strauss. Tiba-tiba terasa aneh. Aku mengingat sesuatu. Waltz Strauss. Rasanya aku punya satu kotak music yang memainkan Waltz Strauss. Aku bergegas berlari ke gudang. Mencari di dus-dus tempat koleksi mainan masa kecilku disimpan ibu, dan akhirnya aku menemukannya. Sebuah kotak music kecil berbentuk harpa emas berpendar yang dikelilingi bunga-bunga mawar indah.
“Sedang apa, Rhei..?? Tanya ibuku.. “Bu.. Lihat bu.. Kotak music ini. Aku dapat dari siapa ya?? Ibu ingat tidak?? Tanyaku sambil memperlihatkan kotak music itu pada ibu.
“Aduhh.. entah yahh.. Kalau kamu sendiri aja lupa, berarti ibu juga..”jawab ibu lirih.
*** 
Aku masih tak henti memandangi kotak music yang sekarang berada di tanganku. Aku memutar putaran kecil yang ada dibawah kotak music itu. Music kecil mengalun berantakan, tak begitu jelas, dan perlahan hilang. Ternyata memang Waltz Strauss. Dulu aku pernah mendengarnya. Ketika suara masih begitu jelas, begitu jernih, mengalun begitu syahdu. Tapi kenapa selama ini aku lupa? Kenapa??!!
*** 
“Rhei.. aku mau berbicara sebentar” ucap Regi di sela-sela kegiatan ekskul. “Apaa.. Apa kamu gak suka sama aku?” Tanyanya. Aku tak pernah melihat sosok Regi seperti ini sebelumnya. Sosok yang tak begitu bersemangat, dan seperti seseorang yang putus asa.
“Ng.. Nggak kok. Ng.. Maksudku, aku.. aku gak tau. Yang jelas aku gak benci kamu”ucapku gugup.
“Apa kamu sudah punya pacar? Tanyanya lagi.
“Nggak. Tentu aja gak punya..”jawabku malu.
“Oh.. Syukurlah, berarti aku masih punya kesempatan”, ucapnya. Wajahnya berubah berseri-seri seketika, kembali ke wajah Regi yang biasa ku lihat. Ceria dan bersemangat. Sesaat aku terpana melihat tawanya. Pacar.. !! Selama ini aku ngak pernah memikirkannya. Rasanya aku ngak boleh.. Rasanya aku ngak boleh menyukai laki-laki lain.
*** 
Aku baru saja sampe rumah, ketika kudapati seorang anak laki-laki di halaman rumahku sedang tertawa dan bermain dengan John, anjingku yang kupelihara sejak aku kecil. Anak laki-laki itu mungkin berkisar 6-7tahun. Kulitnya putih bersih. Rambutnya coklat gelap dan bergelombang. Matanya senada dengan rambutnya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana selutut dengan kotak-kotak merah.Entah kenapa rasanya sosok anak kecil ini gak asing dimataku. Aku merasa pernah lihat, entah dimana. Matanya kini menatap ke arahku. Mendadak tawanya tadi hilang. Tatapannya justru entah kenapa menjadi begitu sedih ketika menatapku.
“Maaf..Kamu siapa?”tanyaku padanya.
“Rheina…””Aku tahu semua soal Rheina lho..”ucapnya, dan tatapan sedihnya hilang, berganti dengan senyum yang sangat manis. Wah.. dia tahu namaku, lirihku dalam hati.
“Kamu anak tetangga ya? Lain kali jangan masuk rumah orang lain sembarangan yah, nggak boleh loh,” ucapku selembut mungkin padanya.
“Tapi..aku kan sendirian.”Ucapnya. Aku menjadi sedikit iba dengannya. Apakah dia sebegitu kesepian? Apakah kedua orang tuanya bekerja? Tanyaku dalam hati.
“Itu.. itu musix box punya marina? Tanyanya lagi lalu menunjuk kotak music Waltz Strauss milikku. “Iya..” jawabku. Aku bangkit mengambil kotak music itu dan memberikan padanya.
Dia memutarnya perlahan dan music kembali terdengar “Wahh.. waltz yaa?? Dari Johan Strauss?? Ucapnya semangat.
“Kamu tahu betul ya..??”
“Tentu.. aku suka sekali Waltz.” tambahnya berser-seri. Aku tersenyum mendengarnya. Rasanya anak ini mudah akrab.
“Nama kamu siapa..”tanyaku lagi.
“Ryo. Cukup panggil aku Ryo, Rheina..”ucapnya sambil tersenyum manis. Aku senang, senang mendengar suaranya. Senang mendengarnya saat dia memanggil namaku. Seperti…..
*** 
John menyalak keras. Kupikir pasti ada seseorang datang. John tidak terbiasa dengan orang baru. Dia akan menjadi sosok anjing yang galak. Aku beranjak ke pintu pagar, meninggalkan Ryo di ruang tengah dan mendapati Regi yang berusaha menenangkan anjingku.
“Regi.. kenapa?? Ucapku sambil mengalihkan perhatian John yang bersikeras bersikap galak pada Regi. “Aku hanya disuruh Mita mengantarkan barangmu yang ketinggalan di kelas, tapi itu Cuma alasan karena sebenarnya aku Cuma ingin ketemu kamu”ucapnya dengan nada kesal yang langsung berubah menjadi ramah dan tersenyum ketika menyodorkan payung milikku. “Ehmm.. Aku langsung pulang ya Rhei..” ucap Regi lagi.
“Maaf.. Anjing ini selalu begini sama orang yang nggak dikenal”ucapku merasa bersalah
“ohh.. gak masalah. Lain kali aku datang lagi yah Rhei.. dagggg”. Ucap Regi sambil berlau pergi.
Aku kembali masuk ke ruang tengah, tapi Ryo sudah tidak ada. Mungkin dia sudah pulang, pikirku. Aku kembali ke halaman melihat-lihat siapa tau Ryo masih di halaman. Namun yang kudapati hanyalah John yang sudah meringkuk di kandangnya yang ada di ujung kiri halaman. Aku menatap John yang langsung duduk di hadapanku sambil mengibas-ngibaskan ekornya ketika aku mendekatinya. “Iya juga ya..Kok kamu sama sekali nggak menggonggong sama anak itu. Kamu sudah kenal Ryo ya?” ucapku sambil mengelus kepala John.
*** 
Setelah kunjungan pertamanya, Ryo selalu mengunjungiku ketika aku pulang sekolah. Kami selalu mempunyai banyak pembahasan. Sangat asyik berbincang dengan Ryo yang tau segala hal tentang Waltz dan Wina. Membuatku selalu ingin pulang cepat setiap harinya. Hari-hari bersama si kecil Ryo sangat menyenangkan. Bahkan aku rela membolos ekskul hanya demi menghabiskan waktu dengannya. Terkadang teman-temanku bertanya-tanya,mengapa akhir-akhir ini aku sering pulang cepat. Namun dengan jahil aku menjawab bahwa ada pacar lucu yang menungguku di rumah.
*** 
“Regi..??? Ada apa??”. Aku kaget melihat Regi yang sudah ada di depan rumahku ketika aku sedang asyiknya membicarakan banyak hal degan Ryo. Napasnya tersenggal-senggal, dan John sedang berusaha mencegahnya mendekati pintu rumah dengan menggigit celananya.
“Rheii.. kaa..kaamuuu.. !! Paa.. paaac..” ucapnya tersenggal-senggal yang membuatku bingung.
“Rheinaa..?? Ada apa..??” ucap Ryo yang berada dibelakangku. Kehadiran Ryo membuat Regi terheran-heran dan bersikap aneh.
“Paa..carr yang kam..muu bilangg ituu maksud..nya dia? Tanya Regi lalu menunjuk Ryo yang bersembunyi di belakangku. Aku tersenyum, dan mulai memahami tingkah Regi.. Mungkin dia berlari dari sekolah kesini karena ingin melihat seperti apa rupa pacar yang aku sebutkan.
“Iya.. Ini anak tetangga..”ucapku terkikik geli.
“Ahh.. Hahahaa.. haa.haa..”tawa Regi salah tingkah, mendadak wajahnya jadi terlihat merah merona. Aku pun kembali terkikik geli melihat wajahnya. Aku mengajak Regi masuk dan memperlihatkan Music box milikku padanya.
“Nyanyian ini bahasa jerman yaa?? Wahh.. Made in Austria, Sepertinya sudah tua sekali yaa. Ini punya Rheina?? Tanya Regi .
“Iya.. Kondisinya sudah ngak begitu bagus sih, mudah-mudahan gak rusak”jawabku lagi. “Punya obeng nggak? Minyak Pelumas juga, klo ada”, pinta Regi tiba-tiba. Aku terheran-heran karenanya.
“Aku suka yang seperti ini. Kadang stereo atau televisi tua di rumah juga sering aku bongkar trus dibersihkan gitu”tambahnya lagi.
“Ohh.. hehe.. aku kira Regi Cuma berminat sama bola basket aja..”
“Ya, nggak begitulah. Aku suka sama yang berbau tekhnik sebenarnya. Bahkan aku berencana bila sudah lulus nanti aku ingin bekerja di tempat yang pekerjaanya berhubungan dengan tekhnik, Basket cuman Olahraga favorit aja. Hahaa..” jelasnya lagi. Aku tak menyangka Regi tidak seserampangan yang kukira. Dia dengan cekatan membuka music box dan membuka rakitannya, membersihkannya dan merakitnya kembali. Aku memperhatikannya dan tanpa sadar sosok Ryo yang semula duduk tepat didepanku dan disamping Regi, sudah tidak ada. Aku mencarinya ke halaman depan, dan menemukannya.
“Ryo, kenapa?? Mengapa tidak bergabung dengan kami?” Posisi Ryo membelakangi ku ketika aku bertanya. Dan dia pun menjawab tanpa menoleh padaku..
“Aku.. aku sebetulnya ingin menjadi musisi seperti papa dan mama”, ucapnya. Ada nada sedih dalam suaranya.
“Ah.. Makanya Ryo tahu betul tentang waltz ya..Jadi orang tuamu juga..”
“Tapi sudah gak bisa.. “tambahnya memotong kata-kataku.
“Ryo..”aku begitu ingin menghiburnya, tapi aku pun tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tanpa menoleh padaku dan mengucapkan apapun Ryo berlari keluar pagar, aku mencoba mengejarnya, tapi dia berlelok dipertigaan dekat rumah dan pergi..
“Rhei…” panggil Regi memecahkan lamunanku.
“Eh.. iya. Kenapa??
“Eum.. music box nya aku bawa pulang yah, biar aku perbaiki dirumah”.
“Aduhh.. jadi merepotkan”.
“Ah, gak apa-apa koq. Dengan begitu aku bisa bertemu dengamu lagi kan? Hehee.. Aku ini pintar yah. Pintar memanfaatkan kesempatan. Hahahaa.. Aku pulang dulu, Dagh Rhei..”ucap Regi lalu berlari keluar pagar dan menyusul Ryo pergi.
*** 
Hari ini hujan mengguyur lebat dari pagi tadi hingga sekarang menginjak pukul 3. Aku tidak lagi tergesa-gesa pulang cepat, karena tidak ada lagi sosok kecil yang selalu menungguku sepulang sekolah. Sudah 3hari Ryo tidak datang lagi kerumah. Padahal aku merindukannya. Hari ini aku mencoba memilih jalan pulang yang berbeda, karena kupikir aku bisa melihat Ryo disalah satu rumah di pertigaan dekat rumahku. Tepat dipertigaan itu terdapat bunga asoka merah yang bermekaran dengan sangat lebatnya. Orang-orang sini selalu menyebutnya taman asoka, karena asoka yang ada disini selalu mekar dengan indah sejak aku masih kecil dulu. Tiba-tiba tatapanku tertuju pada satu sosok diantara bunga-bunga asoka yang bermekaran dengan lebat dan terguyur hujan.
“Ryo..?? Kenapa??? Sedang apa disitu?? Aku mencoba mengampiri Ryo, melewati bunga-bunga asoka yang saking lebatnya . Aku begitu khawatir. Dia bisa sakit,jika berdiri di tengah hujan seperti itu. Lebatnya bunga-bunga asoka menghalangi pandanganku. Dan ketika aku sudah mendekati tempat Ryo berdiri, dia sudah tak ada.
*** 
“Ibu..Tanah kosong dipertigaan itu, yang ditanami banyak bunga asoka itu.. Dulu disitu ada bangunan rumah yang besar kan? Sudah bertahun-tahun yang lalu. Kalau nggak salah ada anak laki-laki yang seumuran denganku,deh..”tanyaku pada ibu setibanya aku dirumah. Ibu hanya menjawab “entahlah” sambil lalu. Tapi aku masih yakin perasaanku tidak salah. Dulu sekali, kalau tidak salah disitu tinggal anak laki-laki. Yah.. dia sahabatku. Waktu kecil aku bertemu di rumah besar yang dikelilingi bunga asoka merah.
*** 
“Rheinaa..!! Rheinaa..!! Begitulah panggil anak lelaki itu padaku. Aku selalu senang menghabiskan waktu bersamanya.
“Papa dan mamaku musisi. Sebentar lagi mereka akan pergi ke Wina lagi lohh..”ucapnya
“Wah.. tinggal di Wina?? Asyikk yaa.. Eh, Wina itu tempatnya seperti apa sih??”
“Ditaman kota terdengar lagu-lagu waltz yang sangat merdu, lalu anak-anak Wina akan menari di gedung kesenian. Menari dengan begitu gembira. Seperti berada di Surga setiap saat. Suatu saat kita sama-sama ke sana yukk. Ke Wina..”ucap anak laki-laki itu lagii
“Bolehkah?? Janji lohh..”
“Iya.. Janji yaa..Rhei..”
*** 
Mimpi anak laki-laki itu lagi. Tapi aku tak bisa melihat atau mengingat wajahnya. Aku hanya mendengar suaranya. Sekelebat suara yang sering muncul di benakku ketika aku mendengarkan waltz atau apapun yang berkaitan dengan Wina. Bukan ilusi, tapi aku yakin itu memang benar-benar terjadi. Seorang anak laki-laki. Yah, mungkin dialah cinta pertamaku. Namun tidak lama setelah itu, anak itu pergi keWina bersama kedua orangtuanya. Tapi.. siapa dia??
Mendadak muncul lagi sebuah bisikkan suara dibenakku, “Aku sudah pulang.. Ini Aku Rhei..!!".
“Ryo?? Ryo kah??” Ahh.. bodoh.. apa yang aku pikirkan sih..”Celetukku dalam hati. Peristiwa itu sudah bertahun-tahun yang lalu terjadi. Itu nggak mungkin Ryo.
*** 
“Heii.. Rheiii..” Regi yang sudah berada di depan rumahku ditengah hujan mengagetkanku..
“Anjing pintar.. kau sudah mulai kenal aku yaa, ucapnya pada John yang kali ini hanya mengeram namun tidak menyalak seperti biasanya.
“Regi.. “aku terheran-heran melihatnya.
“Hai.. Aku hanya mau mengantarkan ini. Music boxnya sudah sembuh, hehee..”.
“Hujan-hujanan begini??” Namun Regi hanya tersenyum lembut lalu mengeluarkan music box yang tersembunyi di balik jaketnya.
“Terimakasih..”ucapku terharu. Aku benar-benar senang menerimanya. Namun belum sempat music box itu sampai di tanganku, tiba-tiba Ryo datang mengambil music box itu dengan wajah marah.
“Ryoo…”ucapku terkejut.
“Heii,, apa sih, ayoo kembalikan.”ucap Regi padanya..
“Nggak boleh.. Orang seperti kamu.. Ini.....”Ucap Ryo tak begitu jelas. “INI PEMBERIANKU UNTUK RHEINA!!” Teriaknya. Mendadak suaranya seperti petir bagiku. Membangunkan ingatanku yang telah lama terkubur dalam. Suara yang selalu aku rindukan. Suara yang selalu hadir dalam mimpiku.
“Kamu bicara apa sih, ini buatan luar negeri lho!” Bantah Regi.
“Betul kok, Aku minta dibelikan diluar negri. Aku minta pada papa dan mama” bentak Ryo lagi. “Ryoo….” panggilku pelan. Pikiranku melayang pada saat itu. Saat seorang Anak laki-laki memberikan ku sebuah kotak music berbentuk Harpa berpendar emas dengan hiasan bunga mawar.
“Wahh.. kotak musicnya bagus sekali”
“Ini untuk Rheina.. Ini Waltznya Strauss,lho.. Taman-taman kota terdengar lagu waltz.. Digudang kesenian…” 

Kembali dialog dialog itu muncul begitu saja di otakku, dan aku dengan begitu saja melanjutkan kata-katanya.. “Anak-anak Wina menari… Sepertii…”
“Seperti berada disurga setiap saat”sambung Ryo lagi. Aku melihat bulir airmata di bola matanya yang coklat..
“Ryo.. Kamu….” Air mata Ryo kini tumpah, dan dia berbalik.. berlari menerobos hujan. Aku mengambil payungku dan segera mengejarnya. Ryo.. Mungkinkah dia Ryo yang sama dengan Ryo yang dulu ku kenal. Tapi mengapa? Ini semua mustahil. Ini semua diluar logika. Aku berlari terus mengejar Ryo, tanpa mempedulikan Regi yang sedari tadi memanggilku. “Ryo… Jangan disitu.. Kemarilah.. Kau basah kuyup..”, Ucapku mencoba membujuk Ryo yang akhirnya berhenti berlari. Air matanya mengalir bersama hujan. Dia menatapku pilu, meninggalkan sesasat luka yang entah kenapa membuat hatiku begitu sakit. Mendadak sebuah mobil sedan melesat tak terkendali di hadapan Ryo yang menoleh kearahku. Aku berteriak. Bunyi Rem mobil berdecit keras ditelingaku, dan aku mendengar suara Regi yang panic memanggilku. Tubuh Ryo terasa sangat dingin di pelukanku,aku menyelamatkannya, namun pikiranku kosong. Payung yang aku bawa terbang, Aku ingat. Dulu juga pernah terjadi seperti ini. Tepat ketika hujan, payung polkadot merah ku terbang terbawa angin. Ryo mencoba mengambilnya, namun secara tak terduga sebuah mobil sedan melaju cepat ditengah hujan. Rem mobil berdecit, dan kemudian terdengar bunyi tabrakan keras. Asoka merah, dan darah merah yang mengalir dari badan kecil Ryo membuatku ketakutan luar biasa. Aku ingatt.. Aku ingat.. “Ryo.. Ryo..!! Kamu Ryo..!!” “Mengapa?? Mengapa selama ini aku lupa” Aku mengucapkannya seperti orang linglung dan tak mau melepas Ryo dari pelukanku. Air mata ku mengalur. Luka lama dalam hatiku terbuka sudah. Trouma itu kembali.  
“Aku.. Aku sebenarnya ingin tumbuh besar bersama Rheina. Aku.. padahal sudah berjanji akan membawa Rheina ke Wina..”ucap Ryo pilu..dan seketika tubuhnya menghilang..
*** 
Aku yang berumur 6tahun menangis sejadi-jadinya. Tak henti-hentinya menyalahkan diriku sendiri atas kematian Ryo. Aku mengalami trouma yang amat mendalam. Kejadian itu terlalu tiba-tiba dan menyedihkan. Dan akhirnya orangtuaku memutuskan memberikan cerita yang berbeda kepadaku. Meyakinkanku bahwa aku hanya bermimpi buruk. Ryo sesungguhnya hanya pergi ke Wina bersama kedua orang tuanya. Ibu menanamkan keyakinan itu, dan membiarkan aku mengganggapnya begitu. Sehingga sedikit demi sedikit semua hal yang bisa mengingatkanku akan Ryo di hilangkan dari otakku. Mengharapkan aku akan melupakan Ryo selamanya.
*** 
“Maaf… Maaf ya Ryo..” ucapku berulang-ulang. Mataku hanya menatap satu arah. Music box Waltz dari Strauss, pemberian Ryo untukku beberapa tahun yang lalu.Air mataku tak berhenti mengalir ketika aku telah berhasil mengingat semuanya. Aku kembali menyesali diriku yang mengakibatkan Ryo pergi. Aku kembali meratapi kepergian Ryo. Semua luka itu kembali. Dan sekarang betambah parah.Aku benar-benar menyesal karena bisa melupakannya. Seharusnya aku tak pantas lupa. Itu hukumanku.
“Rheina….” Tangan itu menyapu rambutku lembut. Aku berbalik. Melihat sosok Ryo yang bukan lagi berupa sosok anak kecil berusia 6-7tahun, tapi berupa sosok seumuranku..
“Seharusnya aku sudah menjadi dewasa seperti ini yaa..”ucapnya lagi lalu tersenyum getir. Ryo berdiri dihadapanku seolah hidup, dan aku sama sekali tak takut padanya, namun air mataku tak juga mau berhenti mengalir.Disisi lain aku senang ia hadir disini, namun disisi lain aku juga harus menghadapi kenyataan, bahwa dia tak akan lama berada disini. Ini hanyalah ilusi yang Ryo ciptakan untukku. Dan Aku masih sangat merasa bersalah, karena satu hal lagi.. hatiku begitu pilu.
“Rheina..suka dia yaa??” Tanyanya, aku tak bisa menjawab dan hanya kembali mengalirkan airmata.
“Aku tahu,karena aku selalu memperhatikan Rheina..”ucapnya lagi.
“Se..selama i..iniii.. Aa..ku se..laa..selalu merasa aa..ku ng..gak boleh menyukai laki-laki lain, walaupun aa..aku nggak tau kenapa, Padahal seharusnya aku nggak boleh melupakan Ryo..Tapi… a…akuu”ucapku terisak.
“Maaf.. Aku nggak pernah bermaksud membuat Rheina sedih. Cuma.. Sungguh sedih rasanya kalau dilupakan. Sedih sekali..”ucap Ryo sambil mencoba mengusap airmataku.
“Ryo..maaf..”ucapku lagi.
Ryo tersenyum..”Tapi..mulai sekarang, kamu akan memulai cinta yang baru ya.. Dan memang itu yang harus kamu lakukan, walaupun aku sedikit kesal juga sih.."ucap Ryo lembut.
"Kamu mau mengingatkku walaupun hanya sedikit saja?? Cukup hal-hal yang menyenangkan saja..”tambahnya lagi.
“Iya,,, iya..Ryo…”jawabku tulus dan masih terisak.
Ryo tersenyum lagi.. “Dengan begitu aku bisa pergi sekarang, dengan membawa kenangan yang sama dengan Rheinaa..”
Mendadak tubuh dihadapanku itu menjadi sebening mutiara transparan.Aku yang berfikir Ryo akan segera pergi reflek memanggilnya, memeluk sosoknya yang tinggal bayangan, dan kini perlahan aku bisa merasakan tubuhnya lagi dalam pelukanku. Mataku terpejam dan aku larut dalam pelukan Ryo yang begitu aku rindukan.“Sebentar saja, sebentar lagi saja..tetaplah bersamaku.. Sedikit lagi kenangan bersama Ryo..Sedikit lagi kenangan untuk malam tanpa akhir”pintaku.
“Iyaa..”jawab Ryo lembut sambil tersenyum.. lalu mengambil music box dan memutarnya..
Rasanya kembali ke masa itu, masa ketika kita bersama mendengar kan waltz ini, tertawa bersama, dan tak hentinya bercerita tentang indahnya kota Wina. Aku bahkan mulai bersikap egois, tidak ingin kehilangan Ryo lagi,yang bahkan ku sadari itu adalah hal egois yang sangat dan teramat mustahil dapat terwujud.Inilah takdir. Kebersamaan kita menikmati saat-saat yang berlalu.Minimal selama music waltz ini mengalun, Seperti anak Wina yang menari-nari, malam seperti ini yang tak akan pernah ada lagi, akan aku ingat selamanya. Tak akan aku biarkan lupa untuk kedua kalinya. Kebersamaan kita untuk malam tanpa akhir.
*** 
“Waltz itu lagu yang mengalunkan kehidupan. Hal-hal yang menyedihkan yang terasa berat, semua berbaur menjadi satu. Lagu yang bisa membuat hati menari. Karena itu Rhei.. Mulai besok cobalah untuk mendapatkan kenangan baru.. Cobalah memulai hidup baru. Aku akan selalu melihatmu.. Selalu..”.
Aku mendengar sayup-sayup suara Ryo . Dan ketika aku sadar, hari telah pagi. Kotak Musik tergeletak dilantai, harpanya jatuh terkulai dilantai, tak ada lagi suara waltz, dan tak ada lagi sosok Ryo. Dia telah pergi.. Namun aku yakin, dia tak pernah benar-benar pergi. Suatu saat kelak aku pasti akan bertemu lagi padanya. Aku akan memulai hidupku yang baru, membuat kenangan baru,bersama Regi seperti yang Ryo bilang. Namun aku tak akan lagi melupakan kenangan ku bersama Ryo. Aku bertekad menjalani hidup baruku dengan membawa sedikit kenangan indah yang sama dengan yang dibawa Ryo. Kenangan yang tak akan pernah aku lupa lagi.Sampai kapanpun.
“Jangan dilupakan,karena dilupakan itu sangat menyedihkan. Untuk kenangan indah kita. Untuk kebersamaan kita. Untuk malam tanpa akhir.
***



***END***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar